Apa Pekerjaanku? Melawan Terror Kusta Lur!

KUROBAWANG.CO — By the way, sudah lama aku ingin sedikit speak up mengenai pekerjaanku, yang pastinya punya hubungan semi-spesial dengan penyakit kusta ini. Aku percaya masing-masing dari diri kalian setidaknya tau tentang kusta. Minimal, pasti pernah mendengar sekelebat tentangnya bukan? 

(Kurobawang.blogspot/Addib A. F. El Berra)

Oiya, panggil saja aku El. Aku adalah seorang perawat. Ketika bestie-bestieku memilih bekerja di RS, puskesmas, klinik, ataupun instansi kesehatan lainnya, justru aku lebih memilih pekerjaan yang bisa dibilang anti-mainstream lho bagi seorang nakes. Kalian bisa menyebutnya, Field Staff. Atau jika diterjemahkan bisa berarti staf lapangan. Yap, itulah jobdesk-ku sekarang. 

Dari namanya seperti tak tercium aroma kesehatannya ya? Eits, tapi jangan salah! FYI, staf lapangan ini merupakan bagian dari sebuah projek (riset) yang bernama PEP++ (Post Exposure Prophylaxis++) yang diselenggarakan oleh organisasi non-pemerintah yakni NLRNetherlands Leprosy Relief, sebagai upaya memutus mata rantai penularan kusta. Jadi bisa disimpulkan bahwa pekerjaanku ini masih erat kolerasinya dengan dunia kesehatan. Di Indonesia, riset ini sendiri hanya diimplementasikan di Provinsi Jawa Timur tepatnya di 3 distrik yakni Kabupaten Pamekasan, Kabupaten Pasuruan dan Kota Pasuruan. 

Banyak lho masyarakat yang masih awam mengenai pekerjaan satu ini. Bahkan terkadang aku ikut-ikutan merasa bingung dalam menjabarkan jawaban yang sesimpel mungkin ketika seseorang bertanya “Kerja apa sekarang ngab?”. Sebuah fenomena yang membagongkan memang, tapi seperti itulah yang terjadi.

Semenjak lulus kuliah, entah mengapa diri ini merasa prefer dengan pekerjaan yang bergenre outdoor. Sehingga aku sempat juga bekerja sebagai enumerator kesehatan. Yang kerjanya pun langsung terjun ke lapangan, bertemu secara  nyata dengan masyarakat di pelosok, hingga bisa membangun interaksi dan melihat ragam keunikan dari kebudayaan setempat. Lebih-lebih jika daerah tersebut memiliki keindahan panorama alam ciptaan-Nya. Wah rasanya beneran bisa sekalian healing melepas overthinking lho! Ya, memang semenyenangkan itu bila pekerjaan bisa selaras dengan passion

Hal yang sama untuk pekerjaan yang aku geluti sekarang ini, ia menuntutku untuk terjun secara langsung ke masyarakat khususnya di lokalisasi endemik kusta. Hitung-hitung bisa membantu dan berguna bagi sesama manusia, privilege yang akan datang bakalan gede lur! Gitu sih prinsipku. 

Dinamika perkustaan di Indonesia

(Kurobawang.blogspot/Addib A. F. El Berra)
Kusta a.k.a lepra merupakan penyakit menular namun bisa disembuhkan yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium Leprae. Penyakit yang juga mempunyai nama beken Morbus Hansen ini terutama akan mempengaruhi sistem saraf, kulit, mata, dan hidung. Gejala utamanya adalah timbulnya bercak-bercak putih atau kemerahan yang mati rasa. Proses transmisinya pun hanya terjadi jika seseorang melakukan kontak langsung secara intensif dan berulang-ulang (dalam waktu yang lama). Perlu dicatat, bahwasannya kusta bisa sembuh dan tidak akan menular jika seorang penderitanya telah minum obat lur. Tetapi jika dibiarkan berlarut tanpa pengobatan, penyakit ini akan berpotensi menyebabkan kecacatan (sumber: Yankes Kemenkes). 

Kabar buruknya, negara kita tercinta ini bahkan telah menyandang predikat top 3 global dalam hal banyak jumlah kasusnya (sumber: WHO, 2020). Meski begitu kalian jangan terlalu khawatir lur, faktanya penularannya sendiri terbilang sulitMenurut P2P Kemenkes, kabar baiknya sekitar 95% manusia dinyatakan kebal terhadap kusta dan hanya 5% saja yang ditulari. Kemudian dari 5% yang tertular, sekitar 70% bisa sembuh sendiri dan hanya 30% yang menjadi sakit. 

Sejarah mengatakan, penyakit kusta sudah memulai invasinya ke bumi sejak ribuan tahun yang lalu. Kitab suci beberapa agama pun juga telah mencantumkan berbagai kisahnya. Tapi anehnya sampai detik ini umat manusia masih belum bisa menerima kehadirannya, tidak seperti penyakit lain. Disatu sisi, secara masif (baik orang yang berpendidikan sekalipun) masih melakukan stigma dan diskriminasi terhadap penyandang kusta & OYPMKorang yang pernah mengalami kusta. Mitos seperti kusta itu kutukan, sihir, darah kotor, ataupun penyakit turunan telah menghiasi mindset mayoritas masyarakat Indonesia. 

Ironisnya, banyak OYPMK yang dikucilkan, dianggap aib, beban masyarakat, hingga mereka tak bisa hidup layak karenanya. Bahkan pernah kejadian dimana anak SD yang sudah kapok untuk bersekolah dikarenakan terjangkit penyakit ini. Dia malu dan rentan terhadap pembully-an yang dilakukan oleh teman-teman atau bahkan diskriminasi dari gurunya sendiri. Sangat miris memang. 

Walhasil, efek jangka panjangnya adalah bisa menghambat lajunya roda perekonomian suatu daerah dan membuat angka pengangguran serta kemiskinan makin melonjak. Itulah PR yang perlu untuk segera kita benahi bersama, demi tercapainya Indonesia bebas kusta.

Kilas balik pengalaman stigma

(Kurobawang.blogspot/Addib A. F. El Berra)
Ada beberapa kejadian yang membekas bagiku sebagai staf lapangan. Pertama. Ini merupakan kisah disaat fase-fase awalku dalam bekerja, yang bisa dibilang masih nihil pengalaman tentang perkustaan. Suatu waktu, aku bersama tim PEP++ serentak melakukan kegiatan Maping—berkelana untuk memetakan koordinat tempat tinggal para klien kusta ini. Mulanya, kami sudah dibekali data identitas klien dari puskesmas setempat. Begitu turun lapangan, kami biasa ditemani oleh PJ (Penanggung jawab) Kusta Puskesmas atau kader setempat untuk mencari tau lokasinya. Namun, tak jarang pula kami bergerak secara mandiri dengan hanya bermodalkan bantuan Google Maps.

Bila sudah mendekati lokasi, seringkali kami bertanya kepada warga setempat mengenai ancer-ancer rumahnya si klien untuk memastikan. Sepintas mereka terlihat antusias ketika ditanya.  Ya tipe-tipe warga +62 gitulah, yang notabenenya ramah. Lalu tibalah saatku berkata,

“Griyane bapak A, ngapunten, sing tiyange ingkang gadah sakit kusta niku teng pundi nggih?” (Rumahnya bapak A, mohon maaf, yang orangnya punya penyakit kusta itu dimana ya?) 

Tebaklah, apa yang terjadi? Benar saja, oknum warga itu mendadak melengos pergi tanpa pamit. Terlihat mimik muka yang terkesan kurang bersahabat, lalu menjauhi kami selangkah demi selangkah sambil menggerutu. Tak ayal, kami bak tersambar petirnya Thor, hanya bisa plonga-plongo sembari menatap kawan satu sama lain.

“Lah kok?!”

“Apa yang terjadi barusan?”

“Kenapa kami diperlakukan begitu?" 

Pertanyaan-pertanyaan tersebut melayang-layang di dalam benakku. Sampai geleng-geleng diri ini dibuatnya. Walaupun kepayahan, untungnya lokasi rumah klien tetap dapat kami temukan dengan tepat.

Kejadian kedua, ketika masih dalam kegiatan yang sama tentunya. Kala itu kami sudah berada di salah satu rumah klien. Rumahnya terlihat begitu instagramable dengan nuansa tradisional khas rumah etnis Jawa-Madura dengan atap joglonya. Tanean lanjhang orang lokal sini menyebutnya. Disaat itu juga datanglah sosok pria paruh baya dengan mengenakan seragam dinas ala perangkat desanya menghampiri kami. Ia mengaku masih satu keluarga dengan klien, lalu menyambut kami dengan menanyakan maksud & tujuan dari kedatangan kami. Setelah menjelaskan panjang kali lebar, tiba giliran kami yang balik bertanya mengenai kondisi si klien. Niat hati sih ingin basa-basi, sebagai bukti perhatian kami terhadap mereka. Alih-alih kooperatif, tatkala kami menyelipkan kata “kusta” ditengah obrolan, sontak keluarga itupun malah tersinggung. Aduh mak.. Kami dianggapnya telah menuduh si klien terjangkit kusta. 

"Sampean jangan macam-macam ya, pakai acara menuduh orang kena kusta segala," ujar salah seorang keluarga.

Nah lo. Puyeng? Iya, beneran deh. Padahal nyatanya dia memang tercatat sebagai klien kusta yang sudah berobat di puskesmas.

Selepas melewati kesalahpahaman yang runyam, akhirnya kami mengetahui sebuah plot twist yang lumayan bikin nyesek. Rupanya sudah lama si klien ini merahasiakan penyakitnya dari sanak familinya. Asumsiku sih karena ia sudah dihinggapi oleh self stigma (respon negatif terhadap diri sendiri). Untung saja peristiwa itu berakhir dengan happy ending, karena keluarga tersebut mau untuk menerima kondisi klien.

Semenjak kejadian itulah, kami sepakat untuk tak lagi menyebut kata “kusta” demi menjaga privasi orang lain. Namun kedepannya, pemberian edukasi dengan lantang akan kami galakkan.

Epilog : Pesan dan kesanku lur! 

Sebagian besar masyarakat Indonesia memang masih beranggapan bahwa kusta merupakan suatu hal yang tabu. Kepercayaan akan mitos seputar kusta juga turut menjadikan stigma dan diskriminasi terhadap kusta kian marak dan berkepanjangan. Oleh sebab itu untuk membantu akselerasi penurunan stigma, maka sumber/akar masalahnya (penyakit kusta) haruslah diatasi terlebih dahulu. Lalu dengan cara seperti apa? Salah satu upayanya yakni dengan melakukan pencegahan penularan kusta melalui gerakan pemberian pengobatan pencegahan. Tidak hanya diberikan kepada penderitanya saja, namun juga kepada orang sehatnya (kontaknya). Harapannya kedepan adalah dengan menurunnya angka penularan kusta, maka segala stereotip-nya termasuk mitos, stigma, diskriminasi beserta kawan-kawannya lambat laun akan ikut tereduksi dengan baik. 

For next action, begitu kegiatan Maping selesai tim PEP++ akan melakukan kunjungan door to door kepada klien kusta untuk kepentingan tracing contact. Bila sudah memperoleh kontaknya, maka dilanjutkan ke tahap kunjungan kontak. Disini peran kami nantinya adalah melakukan pitching dengan memberikan edukasi dan skrining klinis kusta. Apabila kontak dinyatakan eligible maka akan langsung diberi obat pencegahan, lalu bagi yang dinyatakan suspect maka akan dirujuk ke puskesmas terdekat agar segera diberi tindakan lebih lanjut. Terakhir, follow-up akan dilakukan selama 2 tahun kepada kontak yang sudah diberi pengobatan.

Kurang lebihnya, seperti itulah alur dari pekerjaanku. Panjang kan prosesnya? Belum lagi bila harus melewati terjalnya medan jalan atau mendadak ditantang adu mekanik oleh begal di tengah perjalanan. Naudzubillah, amit-amit! Tapi daerah tempatku bertugas memang eksis dengan tindak kriminalitas pembegalan lho, ngeri deh pokoknya. Maka dari itu mohon support dan doanya ya. Agar senantiasa kami selalu diberi keselamatan, kesehatan, serta kecakapan dalam bertugas. 

Tak lupa, rangkul dan jabatlah erat tangan penyandang kusta & OYPMK. Berikan dukungan agar mereka selalu bisa bangkit dan bisa hidup dengan layak di tengah masyarakat. Karena sebagai generasi milenial, mestinya kita bisa lebih melek akan fakta yang harusnya mudah untuk kita cari dan ketahui. So, mari kita bersinergi untuk bersegera moveon dari mitos-mitos tentang penyakit iniKalian ingin membantu bukan? Maka tolong katakan STOP pada stigma kusta dan diskriminasinya! 

Salam Indonesia bebas dari kusta, lur.


Komentar

Terpopuler

LP IBU HAMIL DENGAN APB (ANTE PARTUM BLEEDING)